Month: November 2013

NANOGRAPHIC PRINTING TM – An Entirely New Category of Printing.

Posted on Updated on

OVERVIEW

Nanography™ is based on nanotechnology – the science of ultra-small particles. Particles that are measured in nanometers – billionths of a meter!  And, as we have discovered at Landa, nano sized pigments have extraordinary qualities: they become amazingly powerful colorants, enabling an entirely new kind of digital printing.


Remarkable Characteristics

Nanopigment-based Landa NanoInk™ together with the Nanographic Printing™ process impart to Nanography™ its remarkable characteristics:
  • Ultra-high speed digital printing
  • Broadest CMYK color gamut
  • Ultra sharp dots of extremely high uniformity
  • The ability to print on any ordinary untreated paper stock, coated or uncoated
  • The ability to print on practically any plastic packaging film or label stock
  • Remarkable abrasion- and scratch-resistant images
  • The lowest cost digital printing in the industry
  • Low energy consumption and zero emissions
Nanopigment-based Landa NanoInk™ together with the Nanographic Printing™

What Can Nanography™ Do for You?

Allowing an entirely new paradigm for efficient and profitable printing, Nanography enables you to migrate mainstream applications to digital production. For the first time, you do not have to choose between the versatility and short-run economics of digital printing and  

Nanography™.  Digital Printing for Mainstream.

Landa has developed a new category of digital printing: Nanography™. It combines quality, speed and cost with production formats and a limitless range of paper types. Printers no longer have to choose between the versatility and short-run economics of digital printing and the low cost-per-page and high productivity of offset printing. Now they can have both. Nanography™ offers a winning formula that is poised to transform digital printing into a mainstream technology.

The second digital printing revolution is underway!

Nanography™ has already gained wide recognition from leading manufacturers of offset printing presses such as Komori, manroland sheetfed and Heidelberg. The second digital printing revolution has begun.

 

OVERVIEW 

Print books, magazines, directories, manuals and direct mail on demand and just-in-time – at  a lower cost than other digital alternatives. Offer premium capabilities like personalization and versioning, expanding your services and improving customer satisfaction. Landa’s Nanographic Printing™ technology allows you to migrate your jobs to digital while  increasing your bottom line using an eco-friendly process.


Landa Nanographic Printing™ Presses Offer Publishing Printers:

  • Use of any off-the-shelf papers with no pre-treatment and post-drying
  • High ink coverage with 4-8 color digital printing
  • Fast ramp-up, seamless fit into existing operation
  • Quick return on investment
  • Unmatched total cost per digital page

Landa Nanographic Printing™ Presses for the Publishing Market:

Landa W50


 

OVERVIEW

 

Entry Level Digital Printing for the Commercial Market

 This entry level press enables fast and easy ramp-up of your digital operation. With high speeds and low-cost-per page, the Landa S5 is built to replace B3 offset printing and offers a solution for a wide range of general mainstream commercial applications. With the ability to print on any media type – coated or uncoated with no pre-treatment or post-drying, the Landa S5 fits seamlessly into your existing printing and finishing operations.

WATCH THE VIDEO

s5-in-action

A LOOK INSIDE THE LANDA S5

INSIDE-S5

LOVE AT FIRST TOUCH

love-s5

The Landa Touchscreen is a spectacular intuitive graphic interface featured on all Landa Nanographic Printing™ Presses. Designed to facilitate operating and troubleshooting, the Landa Touchscreen helps you maximize your press uptime.
Read More

SPECIFICATIONS

  • Format
    Max. printing speed (single-sided)
    Max. printing speed (double-sided)
    Paper thickness & weight 
    (double-sided)

    Types of media

     

    Pile input & output 

     

    Press size (L x W x H)

     

    Weight
  • B3 (20 in.)
    11,000 SPH
    5,500 SPH
    70-350 μm (3-14 pt); 
    60-300 gsm (40 lb. text – 110 lb. cover)
    Any type of off the shelf media: coated, uncoated, 
    synthetic, specialty (colored, embossed, metallic)
    Feeder:  900 mm (35.4 in.)
    Delivery:  420 mm (16.5 in.)
    3,220 x 2,280 x 1,850 mm
    (126.7 x 89.7 x 72.8  in.)
    5,600 kg (12,346 lb.)
 
 

7 Cara Bersyukur atas Nikmat Yang Diterima

Posted on Updated on

Bersyukur punya dampak besar bagi kehidupan manusia. Hal ini sering diajarkan oleh banyak orang, namun mungkin banyak juga yang melupakannya. Terlebih ketika didera oleh beratnya tekanan dalam hidup, mengucap syukur sering lalai dilakukan.

Sekalipun untuk hal-hal kecil, yang mungkin dianggap remeh atau sudah biasa dinikmati, bersyukurlah. Sebab itu akan berpengaruh besar dalam kehidupan anda.

Lalu bagaimana sebaiknya cara bersyukur dilakukan?

Bagi muslim, mengucap alhamdulillah adalah hal yang biasa dilakukan. Namunucapan syukur tersebut akan kehilangan maknanya jika tak anda resapi. Lakukanlah dengan penuh ketulusan.

Berikut ini beberapa cara untuk bersyukur kepada Tuhan.

  1. Saat beribadah. Bagi yang beragama Islam, resapi bacaan alhamdulillahirobbil ‘alamin yang selalu dibaca setiap ketika sholat. Begitupun seusai sholat, dalam doa ucapkan syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah dilimpahkannya. Atau juga dengan melakukan sujud syukur. Begitu juga untuk yang beragama lainnya, bisa melakukan peribadatan sesuai cara yang diajarkan.
    Intinya, biasakan untuk bersyukur tiap kita beribadah, dan resapi saat kita melakukannya.
  2. Ketika bangun di pagi hari. Saat anda bangun tidur, ucapkan syukur karena anda diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup di hari ini dengan mengisinya dengan kegiatan yang bermanfaat. Anda diberi energi untukACTION dan berupaya mencapai yang anda cita-citakan.
  3. Berikan senyuman. Senyum merupakan sebuah bentuk ungkapan syukur atas segala nikmat yang telah diterima. Dan kita ikut menyebarkan energi positif ini pada orang lain agar bisa ikut merasakannya.
  4. Ucapan terimakasih. Mengucapkan terimakasih kepada orang lain juga cara simpel untuk mewujudkan rasa syukur kita. Berkat kehendak Tuhan yang dilakukan melalui orang tersebut, apa yang kita inginkan jadi terlaksana.
  5. Acara syukuran. Mengadakan acara syukuran merupakan bentuk perwujudan syukur ketika hajat yang diinginkan tercapai. Acara ini positif karena juga bisa menambah erat hubungan dengan sesama.
  6. Memberi hadiah. Memberikan hadiah pada seseorang juga bisa menjadi suatu ungkapan syukur kepada Tuhan.
  7. Lakukan kegiatan sosial. Mengadakan kegiatan sosial atau hal-hal yang kelihatannya sepele seperti membersihkan lingkungan, juga merupakan wujud syukur kita kepada Tuhan.

Bersyukurlah dalam setiap kesempatan, dalam situasi yang sulit sekalipun; niscaya anda akan dilimpahi keberkahan dan kebahagiaan.

Jadi… sudahkah kita bersyukur hari ini?

sumber : http://www.jokosusilo.com/2013/09/30/7-cara-bersyukur-atas-nikmat-yang-diterima/

Manaqib Tuan Guru KH. Syarwani Abdan Bangil

Posted on Updated on

Guru Bangil adalah seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran beliau Martapura, akan tetapi juga di Kota Bangil tempat Beliau menetap dan meninggal dunia. Secara geneologis, Guru Bangil merupakan generasi ke-8 dari ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan salah seorang guru dari ‘Alimul Fadhil Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul).

Ust-Syarwani-ok

Guru Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Sjarwani Abdan bin H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H. Ahmad bin H. Muhammad Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. Tidak diketahui secara pasti kapan tanggal kelahiran beliau, dari beberapa catatan yang ada hanya dituliskan tahun kelahiran beliau, yakni pada tahun 1915 M/1334 H.

Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki saudara tiga orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Su’ud,[3] ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah Khalifah H. Syahabuddin.
Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal luas oleh masyarakat Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj. Mulik. Guru Bangil mempunyai 7 orang saudara kandung, nama-nama saudara Guru Bangil tersebut adalah: H. Ali, Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd. Razak, Husaini, Acil, dan H. Ahmad Ayub
Selain mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang, Guru Bangil juga mempunyai saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan H. Hasan Abdan

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang dirasakan oleh Guru Bangil. Berdasarkan catatan H. Abu Daudi dalam bukunya, “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”, sejak kecil Guru Bangil sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki himmah kuat untuk belajar dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama.[4] Beliau dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun dalam belajar, sehingga disayangi dan disenangi oleh guru-guru beliau. Terlebih-lebih beliau berasal dari dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis dan “Serambi Mekkah”, Martapura.[5] Karena itu, di samping dididik dalam lingkungan dan oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan dan mulai menyauk ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura[6] dan dari sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu, antara lain kepada ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, ‘Alimul Fadhil Qadhi H.M. Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il Khatib Dalam Pagar, Martapura.
Beliau juga pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar Khatib, di mana menurut cerita yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh jukung (perahu).[7]
Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru Bangil pada usia yang masih muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam ilmu agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil, beliau sempat belajar dan berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan Pasuruan antara lain K.H. Muhdor, K.H. Abu Hasan, K.H. Bajuri dan K.H. Ahmad Jufri.
Pada sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan belajar ilmu agama ke Tanah Suci Mekkah. Beliau berangkat bersama-sama dengan saudara sepupu beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif[8] di bawah pengawasan paman beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, yang pada saat itu juga sedang bermukim di Mekkah. Selama di Mekkah, Guru Bangil menuntut berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa orang guru, di antaranya adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[9] Di samping itu, Guru Bangil juga belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh Saifullah Andagistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan Syekh Ahyat Bogori.[10] Abu Nazla menambahkan bahwa selama di Mekkah, Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani Arif juga belajar kepada Syekh Bakri Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien al-Maliki.[11]
Selama mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah dikaji dan dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan amal yang beliau terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai oleh Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru Bangil telah menerima ijazah tarekat Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah Syekh Umar Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[12] Ijazah tarekat Idrisiyah diterima dari ‘Alimul ‘Allamah Syafi”i bin Shalih al-Qadiri.[13]
Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari guru besar bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa (Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil banyak belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf.[14] Tidak mengherankan jika kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara, tawadhu’, dan khumul, hapal Alquran serta menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat.[15]
Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul.[16] Guru Bangil Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif dikenal oleh gurunya sebagai murid yang tekun dan menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu agama. Guru-guru mereka sangat sayang karena melihat bakat dan kecerdasan mereka berdua”. demikian yang tergambar dalam Manaqib Guru Bangil berkenaan dengan semangat dan ketekunan dua saudara sepupu tersebut dalam dan selama menuntut ilmu.[17] Bahkan, keadaan dan ketekunan mereka berdua selama menuntut ilmu di Mekkah juga diibaratkan, “Siang bercermin kitab dan malam bertongkat pensil”.[18] Sehingga wajar jika kemudian dalam beberapa tahun saja mereka berdua mulai dikenal di Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua Mutiara dari Banjar”. Bahkan mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayid Muhammad Amin kutbi.[19]
Guru Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai seorang murid yang cerdas, namun beliau sendiri tidak mau menampakkan kecerdasan tersebut, beliau selalu sederhana dan bahkan merendahkan hati, sehingga banyak orang yang tidak tahu tentang beliau. Cerita tentang kedatangan beliau di Bangil dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan terhadap ulama yang ada di sana merupakan bukti kuat bahwa beliau adalah seorang yang tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat dan selalu rendah hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil beliau menutupi diri dengan menjadi pedagang. Beliau juga tidak merasa kecil hati untuk belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di Kota Bangil dan Pasuruan.
Menurut cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu tausiyahnya (agar tidak sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan menyatakan bahwa beliau bukanlah orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang, beliau hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam belajar, menjaga etika belajar, hormat dengan guru dan tawakkal kepada Allah.[20]
Guru Bangil adalah seorang yang pandai menyembunyikan diri (tidak suka pamer, sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang luas.[21] Selama menuntut ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari Banjar”, pernah mengajar di Masjidil Haram, namun beliau tetap rendah hati dan sederhana, sehingga di awal-awal berdiamnya beliau di Kota Bangil, banyak orang yang tidak mengetahui siapa beliau sebenarnya, kecuali sesudah diberitahu oleh Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di Kota Pasuruan.

Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang masih terhitung dan memiliki hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj. Bintang adalah anak paman beliau, yang berarti saudara sepupu. Dari perkawinannya dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya: K.H. Kasyful Anwar, Zarkoni, Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.
Setelah isteri beliau yang pertama (Hj. Bintang) meninggal dunia, beliau kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah ini beliau mendapatlan beberapa orang anak lagi, di antaranya adalah Hj. Imil, Noval, Didi, Yuyun, dan Mahdi
Isteri beliau yang ketiga adalah Hj. Fauziah. Dari perkawinan dengan Hj. Fauziah ini, beliau mendapatkan beberapa orang anak pula, di antaranya adalah M. Rusydi, Abd. Haris, dan Busra.[22] Menurut keterangan Ustadz H. Mulkani jumlah anak beliau keseluruhan adalah 28 orang.[23]
H. Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua adalah generasi penerus dalam melaksanakan aktivitas pendidikan dan dakwah serta pengelolaan Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga sekarang ini. Di samping itu beliau juga tercatat sebagai seorang dosen tetap pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Sebelum beliau bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946), beliau sempat mengajar di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura,[25] namun pengabdian Guru Bangil di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini tidak lama, karena pada tahun 1946 beliau kemudian pindah dan hijrah ke Bangil, menyusul keluarga yang telah lama berdiam di sana.
Setelah beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil mulai mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh pada waktu itu.[26] Di samping muthala’ah dan membuka pengajian, Guru Bangil juga mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu agama yang diberi nama Pondok Pesantren “Datuk Kalampayan” pada tahun 1970. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari Kalimantan Selatan.[27]
Pondok Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh Guru Bangil. Beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada para santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak para santri beliau yang kemudian menjadi orang alim dan tersebar diberbagai daerah, baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan lain-lain untuk meneruskan perjuangan Islam. Di antara santri/murid-murid beliau tersebut adalah:
1. ’Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Sekumpul Martapura, Pendiri Majelis Taklim Ar-Raudhah Sekumpul.
2. K.H. Prof. Dr. Ahmad Sjarwani Zuhri, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan.
3. K.H. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim Sabilal Anwar al-Mubarak, Martapura.
4. K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus Shaleh Tunggul Irang Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini Tarsyid juga merupakan anak menantu Guru Bangil).
5. K.H. Ibrahim bin K.H. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.
6. K.H. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin, Gambut.
7. K.H. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul Aman, Danau Panggang, Amuntai.
8. K.H. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).
9. K.H. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
10. K.H. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren Sabilut Taqwa, Handil 6, Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah, dan ibadah. Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah al-Mukarramah, Guru Bangil pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi di Martapura, namun jabatan tersebut beliau tolak. Beliau lebih senang berkhidmat secara mandiri dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar Islam, di mana, muthala’ah, halaqah dakwah, ta’lim (mengajar), dan menulis (menghimpun) risalah menjadi aktivitas rutin beliau sehari-hari.
Dalam mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar menjabarkan dan menjelaskan suatu permasalahan, beliau hanya menyampaikan apa yang ada dalam kitab dan telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama penulis kitab. Sehingga, ketika ada yang bertanya atau mengajukan suatu permasalahan, beliau menjawabnya tidak dengan pendapatnya sendiri, tetapi beliau tunjukkan dan mengutip dari pendapat para ulama dengan menyebutkan kitab-kitabnya.
Guru Bangil juga aktif menulis berbagai risalah agama berupa pelajaran dan pedoman praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah beragama masyarakat. Satu di antara risalah beliau yang sangat terkenal, dicetak, dan beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat adalah buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah. Risalah ini berisi pembahasan tentang masalah talqin, tahlil, dan tawassul.
Guru Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan, itulah sebabnya beberapa risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar secara terbatas, karena tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah yang tersebar secara luas itupun beliau izinkan untuk dicetak atas amal jariyah seorang donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Menurut santri-santrinya, Guru Bangil adalah sosok seorang guru yang bisa memahami dengan baik kemampuan, karakter dan bakat santri-santrinya. Sehingga mereka merasa dididik sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Di samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru Bangil juga mempunyai keahlian ilmu bela diri (silat). Keahlian dalam ilmu bela diri ini juga Beliau ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi mereka untuk berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang santri beliau yang mewarisi dengan baik ilmu bela diri ini adalah (alm.) Guru Masdar Balikpapan.[28]
Sebagai seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan sekaligus memecahkan masalah di masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika masyarakat hendak memperluas bangunan masjid di Kota Bangil yang tidak mencukupi lagi untuk menampung jamaah. Sementara, ada kendala atau permasalahan yang membuat ulama-ulama dan tokoh masyarakat Bangil pada waktu itu bingung mencari solusinya, karena areal tanah yang hendak dijadikan perluasan masjid terdapat kuburan. Maka, masyarakat pun akhirnya mereka meminta pendapat dan pemikiran Guru Bangil berkenaan dengan masalah tersebut, apakah masjid bisa diperluas walaupun di atas tanah bekas kuburan atau bagaimana? Dengan berpedoman kepada pendapat para ulama terdahulu Guru Bangil membolehkan. Sehingga, berdasarkan pendapat Guru Bangil, masalah tersebut akhirnya dapat terpecahkan, sehingga perluasan pembangunan masjid Bangil pun dapat diteruskan.[29]
Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak meninggalkan harta kepada anak cucu beliau. Beliau sangat hati-hati dalam hal-hal keduniawian.[30]
Guru Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia politik. Itulah sebabnya beliau mau masuk dan menjadi anggota partai politik walaupun banyak yang mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah menegaskan arah dan tujuan organisasinya untuk khittah (kembali) ke dasar organisasi ketika organisasi ini didirikan (pada tahun 1926) dan tidak lagi sebagai partai politik.[31]
Menurut Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara mendalam 14 cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang beliau kuasai tersebut terutama bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an, tafsir, dan tasawuf.[32]
Dalam usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak menggeluti ilmu fikih, tetapi pada usia 40 tahun ke atas beliau banyak bergelut di bidang tasawuf. Tasawuf yang banyak beliau pelajari adalah tasawuf Al-Ghazali.[33]
Dalam bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan suatu hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Beliau tidak setuju kalau pidato di lapangan terbuka dengan membacakan atau menggunakan ayat Alquran maupun hadits, padahal tidak tepat dengan konteksnya.[34]
Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Sehingga, ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, beliau menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya langsung kepada Guru Bangil. Guru Bangil pernah memperdalam fikih dengan Syekh Ahyat al-Bogori.[35]
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer, karena pembahasan yang ada di dalamnya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah dicetak serta diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit. Buku ini tersebar luas di tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan dicetak atas biaya dari para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat luas. Karena, Guru Bangil tidak mau karya beliau ini diperjual belikan. Buku ini juga pernah berhenti dicetak karena ada oknum yang memperjualbelikannya untuk mengambil keuntungan pribadi.
Buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini ditulis oleh Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan sering menganggap mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan pertanyaan dan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat di dalam tulisan beliau yang tertera di bagian penutup buku tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan yang dikenal luas oleh masyarakat Banjar dan Bangil khususnya sebagai seorang ulama yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat melalui keilmuan dan kiprah keagamaan selama beliau hidup. Aktivitas beliau yang tidak jauh dari rutinitas ibadah, muthala’ah, halaqah, dakwah, ta’lim, dan menulis risalah bimbingan keagamaan untuk masyarakat serta mendirikan Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di Bangil memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan amal ibadahn dan keagamaan masyarakat.
Berkenaan dengan hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh ‘Alimul ;Allamah Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, maka beliau menyuruh orang itu untuk menanyakannya kepada Guru Bangil. Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak mewariskan harta kepada anak cucu beliau.
Al- Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer. Buku ini ditulis beliau atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan para pemikir muda yang kontradiktif (berlawanan) dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu. Menurut beliau, talqin, bacaan, doa dan sedekah untuk mayit serta tawassul diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam asalkan sesuai dengan kaedah yang dicontohkan oleh ulama.

sumber : http://jaybanjarie.wordpress.com

Mengenang Haul Ke-24 Tuan Guru KHM. Syarwani Abdan Bangil – Jatim

Posted on Updated on

Minggu, 06 Januari 2013

MUTIARA PENCETAK PARA ULAMA
Tuan Guru Al Alimul Allamah Al Arif Billah KH. Muhammad Syarwani Abdan Al-Banjari, Bangil
Setiap ahad ketiga bulan Shafar ada pemandangan istimewa di kota Bangil. Ribuan ummat Islam dari pulau Kalimantan, khususnya suku Banjar, mulai masyarakat biasa, sampai para pembesarnya, kalangan ulama maupun kalangan pejabatnya, mulai para Bupati hingga orang nomor satu provinsi Kalimantan Selatan, membanjiri Kota Bangil. Tidak ketinggalan kaum muslimin pecinta ulama dan aulia di seluruh Indonesia bahkan dari luar negeri turut larut pada di tengah-tengah kota bordir itu.
 Ust-Syarwani-ok
Kecintaan mereka yang begitu besar membuat mereka rela menyeberang lautan untuk ikut menghadiri haul ulama panutan mereka, Tuan Guru Bangil yang memiliki nama lengkap KH. M. Syarwani Abdan bin Haji Muhammad Abdan bin Haji Muhammad Yusuf bin Haji Muhammad Shalih Siam bin Haji Ahmad bin Haji Muhammad Thahir bin Haji Syamsuddin bin Saidah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Tuan Guru Bangil dilahirkan pada tahun 1334 H/1915 M di kampung Melayu Ilir Martapura. Sejak kecil Beliau sudah memiliki himmah (perhatian / semangat) yang tinggi untuk belajar ilmu agama. Karena ketekunannya dalam belajar, Beliau sangat disayangi oleh para gurunya ketika masih berdomisili di Martapura. Diantara guru beliau adalah pamannya sendiri yaitu  KH. M. Kasyful Anwar, Qadhi Haji Muhammad Thaha, KH. Ismail Khatib Dalam Pagar dan banyak lagi yang lainnya.
Pada usia masih sangat muda beliau meninggalkan kampung halamannya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di Bangil dengan maksud memperdalam ilmu agama kepada beberapa ulama di Kota Bangil dan Pasuruan. Di antara guru beliau adalah KH. Muhdhar Gondang Bangil), KH. Abu Hasan (Wetan Alun Bangil), KH. Bajuri (Bangil) dan KH. Ahmad Jufri (Pasuruan). Orang tua beliau sendiri pada saat itu memang sudah lama berdiam di Kota Bangil untuk berniaga.
Dua Mutiara Banjar
Saat beliau berumur 16 tahun, pamannya Syekh Muhammad Kasyful Anwar seorang ‘Aalimul Allamah (seorang yang sangat luas dan mendalam ilmu agamanya), hingga Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin H. Abdul Ghani AlBanjari (Abah Guru Sekumpul) pernah menyebutnya sebagai seorang Mujaddid (pembaharu), oleh membawa beliau pergi ke Tanah Suci Mekkah bersama saudara sepupunya yaitu Syekh Muhammad Sya’rani Arif, yang dikemudian hari juga dikenal sebagai seorang ulama besar di Martapura.
Selama berada di Tanah Suci kedua pemuda ini dikenal sangat tekun mengisi waktu dengan menuntut ilmu ilmu agama. Keduanya mendatangi majelis majelis ilmu para ulama besar Mekkah pada waktu itu. Di antara guru guru beliau yaitu Sayyid Amin Kutby, Sayyid Alwi Al-Maliki, Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Muhammad al-Araby, Sayyid Hasan Al-Masysyath, Syeikh Abdullah Al-Bukhari, Syeikh Saifullah Daghestani, Syeikh Syafi’i asal Kedah, Syeikh Sulaiman asal Ambon, dan Syekh Ahyad asal Bogor.

Rupanya ketekunan belajar dua keponakan Syeikh Muhammad Kasyful Anwar ini diperhatikan oleh para guru-gurunya. Diceritakan bahwa para gurunya itu sangat menyayangi keduanya. Ketekunan dan kecerdasan mereka sangat menonjol hingga dalam beberapa tahun saja keduanya sudah dikenal di Kota Mekkah hingga keduanya dijuluki “Dua Mutiara dari Banjar”. Tak mengherankan jika keduanya di bawah bimbingan Sayyid Muhammad Amin Kutby, bahkan sempat mendapatkan kepercayaan mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram.

Selain mempelajari ilmu ilmu syariat, Beliau juga mengambil bai’at tarekat dari para masyayikh di sana, diataranya bai’at Tarekat Naqsyabandiyah dari Syekh Umar Hamdan dan Tarekat Samaniyah dari Syeikh Ali bin Abdullah Al-Banjari. Setelah kurang lebih sepuluh tahun menuntut ilmu di Kota Makkah, pada tahun 1939 bersama sepupunya Tuan Guru Bangil  kembali pulang ke Indonesia dan langsung menuju tanah kelahirannya, Martapura.
Sang Wali Mastur
Sepulang kepulangan beliau dari Mekkah ia menyelenggarakan mejelis-majelis ilmu di rumahnya. Beliau sempat juga mengajar di Madrasah Darussalam. Tuan Guru Bangil kemudian diminta untuk menjadi seorang qadhi, namun hal tersebut ditolaknya karena beliau lebih senang berkhidmat kepada ummat tanpa terikat dengan lembaga apapun. Selanjutnya, pada tahun 1943 Beliau pergi ke Kota Bangil dan sempat membuka majelis untuk lingkungan sendiri hingga tahun 1944. Di samping itu Beliau juga sempat berguru kepada  Syeikh Muhammad Mursydi, Mesir. Setelah setahun di Bangil, Beliau lalu kembali lagi ke Martapura. Kemudian pada tahun 1950, Beliau sekeluarga memutuskan untuk hijrah ke Kota Bangil.
Guru Bangil, demikian Alm. Abah Guru Sekumpul memanggil beliau di manapun beliau tinggal senantiasa berada dalam keseharian yang sangat sederhana, hingga tak banyak yang tahu bahwa Beliau adalah  tokoh besar. Selain pakaiannya yang sederhana, di kamar tidurnya pun Beliau tidak menggunakan ranjang. Beliau juga tidak mempunyai lemari khusus untuk pakaiannya, pakaian miliknya diletakkan menumpang pada bagian lemari kitabnya. B seorang yang telah mengambil jalan Khumul (menjauh dari keramaian) dan tak berharap akan kemasyuran, hingga Almarhum Mbah Hamid Pasuruan pernah mengatakan “Saya ingin sekali seperti Kyai Syarwani, Beliau itu alim tapi Mastur tidak Masyhur. Kalau saya ini sudah terlanjur Masyhur, jadi saya sering kerepotan karena harus menemui banyak orang, menjadi orang masyhur itu tidak mudah, bebannya berat, kalau Kyai Syarwani itu enak, tidak banyak didatangi orang”.
Suatu ketika, sejumlah kyai berkumpul dan berinisiatif untuk mendalami ilmu agama dalam halaqah khusus kepada Kyai Hamid Pasuruan, namun setelah hal tersebut disampaikan kepada Kyai Hamid beliau menolak permintaan itu seraya menyarankan supaya mereka mendatangi KH. Syarwani Abdan. Berdasarkan arahan Kyai Hamid, merekapun mendatangi KH. Syarwani Abdan dan menyiapkan beberapa pertanyaan untuk sekdar mengetahui seberapa dalam ilmu dari KH Syarwani Abdan. Ketika mereka datang, Guru Bangil sedang duduk sambil membaca sebuah kitab. Di awal pembicaraan, sebelum mereka sempat membuka pertanyaan yang telah mereka persiapkan, Guru Bangil mendahului bertanya kepada mereka, “Antum ke sini ingin bertanya masalah ini dan itu, kan?. Beliau  menanyakan hal itu sambil menunjuk kitab yang masih terbuka tadi. Kontan hal ini membuat mereka takjub sekaligus kagum. Ternyata semua pertanyaan yang telah mereka persiapkan, dengan tepat terjawab dalam halaman kitab yang masih terbuka di tangan beliau itu, subhanallah.
Setelah menyaksikan kealiman Guru Bangil, mereka meminta kepada Beliau  untuk membuka majelis untuk mereka. Beliau tidak serta merta mengabulkan permintaan mereka, tetapi terlebih dahulu menanyakan hal tersebut kepada Kyai Hamid. Setelah Kyai Hamid memberi isyarat persetujuan, barulah Beliau bersedia membuka majelis untuk para kyai ini, subhanallah Kedua kyai besar yang tawadhu’ ini memang saling mencintai dan menghormati satu sama lain.
Kyai Hamid adalah ulama besar yang kharismatis dan menjadi tujuan kedatangan banyak orang, karenanya tak jarang orang yang datang kesulitan menemui beliau, tapi anehnya berdasarkan pengalaman orang orang yang pernah bertemu beliau, mereka akan mudah menemui Kyai Hamid bila sebelumnya orang tersebut menemui KH. Syarwani Abdan. Tak jarang baru sampai di depan pintu, Kyai Hamid sendiri yang membukakan pintu kepada para tamu, entah Sirr (rahasia) apa yang didapat oleh para tamu Kyai  Syarwani Abdan, hingga Kyai Hamid selalu menyambut mereka dengan penuh suka cita padahal pada saat itu belum ada alat komunikasi seperti sekarang.
Guru Para Ulama
Atas dasar dorongan para ulama serta rasa tanggungjawabnya untuk menyiarkan ilmu ilmu agama, maka pada tahun 1970 Tuan Guru Bangil memutuskan mendirikan pesantren yang diberi nama PP. Datuk Kalampayan, nama yang diambil untuk mengambil berkah julukan datuknya yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Para santrinya banyak berasal dari Banjar hingga pondok pesantren itu sendiri sering disebut Pondok Banjar.
Dari hasil didikan Tuan Guru Bangil  lahirlah murid murid beliau yang menjadi ulama-ulama besar. Di antaranya adalah yang mulia Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al-Banjari, Kyai Abdurrahim, Kyai Abdul Mu’thi, Kyai Khairan (daerah Jawa), KH. Prof. Dr. Ahmad Syarwani Zuhri (Pimpinan PP. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari Balikpapan), KH.Muhammad Syukri Unus (Pimpinan MT Sabilal Anwar al-Mubarak Martapura), KH. Zaini Tarsyid (Pengasuh MT Salafus Shaleh Tunggul Irang seberang Martapura) yang juga menantu beliau,  KH. Ibrahim bin KH. Muhammad Aini (Guru Ayan) Rantau, KH. Ahmad Bakeri (Pengasuh PP. Al-Mursyidul Amin Gambut), KH. Syafii Luqman, Tulung Agung, KH. Abrar Dahlan (Pimpinan PP di Sampit, Kalimantan Tengah),  KH. Safwan Zuhri (Pimpinan PP Sabilut Taqwa Handil 6 Muara Jawa Kutai Kertanegara) dan banyak lagi tokoh tokoh lainnya yang tersebar di penjuru Indonesia.
Menghadap Ilahi
Setelah sekian banyak mencetak kader ulama dan berkhidmat dalam dakwah, meningkatkan ilmu dan amal bagi murid-murid dan masyarakat luas, akhirnya pada malam Selasa jam 20.00, tanggal 11 September 1989 M bertepatan dengan 12 Shafar 1410 H, Guru Bangil wafat dalam usia lebih kurang 74 tahun. Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga  al-Haddad, berdekatan dengan makam Habib Muhammad bin Ja’far al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondok pesantren yang beliau bangun. Makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan.
Guru Bangil banyak meninggalkan contoh yang patut untuk diteladani, beliau meninggalkan kebaikan yang layak untuk dikenang, dan beliau meninggalkan warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran beliau di tengah masyarakat Banjar dan Bangil terasa sangat luar biasa. Untuk memperingati dan mengingat jasa-jasa beliau, serta untuk mengikuti jejak dan perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam, setiap tahun, yakni setiap tanggal 12 Shafar diadakan haul Guru Bangil, yang selalu dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai, terutama jamaah dari Kalimantan serta murid-murid beliau.
sumber: mediaummat.co.id